Tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima sedekah mereka kecuali, karena mereka kufur kepada Allah, karena kekufurannya tidaklah diterima amal kebaikan mereka.
Namun walaupun demikian, yang lebih benar dari pendapat para ulama bahwa orang-orang kafir pun tertuju kepadanya perintah-perintah syariat, cabang-cabang perintah di dalam syariat, yang artinya mereka dengan kekufurannya juga dihukum, diadzab karena meninggalkan perintah-perintah syariat yang lain, mereka dihukum dan diadzab karena meninggalkan shalat. Mereka diadzab karena meninggalkan puasa dan perintah-perintah syariat yang lainnya. Walaupun ibadah mereka tidak akan diterima oleh Allah namun Allah akan mengadzab mereka di atas adzab sehungga berlipat ganda adzabnya akibat mereka tinggalkan rukun-rukun islam yang ada.
Kemudian beliau sebutkan syarat yang kedua adalah baligh yang berarti puasa tidaklah wajib sampai seorang mukallaf telah baligh, seorang anak lelaki telah baligh, atau gadis telah baligh usianya, jika mereka telah baligh maka mereka akan dihukum, diadzab jika meninggalkan puasa. Walaupun demikian tidak berarti dengan ini, anak dibawah umur sebelum baligh, tidak dibiasakan untuk berpuasa. Justru sebaliknya, agar mereka dibiasakan untuk berpuasa walaupun mereka tidak dihukum karena tidak berpuasa, tetapi dari semenjak kecil dibiasakan dan dididik untuk mereka berpuasa. Seperti itulah yang kita dapati dari para sahabat rasulullah dan para ulama salafu shalih, dimana mereka puasakan anak-anak mereka walaupun sebelum baligh. Hingga ketika anak-anak itu meronta kelaparan atau kehausan, mereka berikan mainan atau yang semisal itu, untuk mereka terhibur dan lupa dengan lapar dan dahaganya, demikian sampai waktu maghrib tiba dan berbuka. Demikian pula syarat yang ketiga beliau sebutkan ‘aqil, syarat puasa adalah orangnya berakal. Maka tidaklah wajib pula puasa bagi orang yang gila atau hilang akalnya. Dua syarat ini, baligh dan akal, dalilnya adalah hadits yang rasulullah sebutkan
Pena itu diletakkan dari 3 orang, artinya mereka tidak terkena beban taklif, beban syariat. Antara lain yang rasulullah sebutkan, dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang yang gila sampai dia sembuh dan menjadi berakal.
Kemudian yang keempat beliau sebutkan, mampu untuk berpuasa, ini untuk mengeluarkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan puasa yaitu mereka yang telah sakit atau yang telah tua usianya atau yang seperti mereka dari orang yang memang memiliki uzur untuk meninggalkan puasa, semacam orang yang sedang safar dalam perjalanan atau wanita yng sedang menyusi atau sedang hamil.
Kemudian beliau sebutkan terkait syarat puasa yaitu berpuasa ramadlan wajib dilaksanakan berdasar pada salah satu dari dua hal yaitu adanya rukyah hilal ramadlan melihat tanda awal bulan ramadlan atau dengan penyempurnaan sya’ban menjadi 30 hari. Syarat ini adalah tentang syarat masuknya bulan ramadlan. Dan masuknya bulan ramadlan, ada beberapa kondisi. Yang pertama dengan terlihatnya hilal ramadlan. Jika terlihat hilal ramadlan maka kaum muslimin pun berpuasa. Namun jika mereka terhalang untuk melihat hilal ramadlan, dimana ada awan tebal atau semisalnya, maka mereka menyempurnakan bilangan sya’ban menjadi 30 hari. Dengan demikian di malam 30 sya’ban, sehari sebelum ramadlan, atau hari ke 30 sya’ban, kaum muslimin hendaknya berusaha melihat hilal, jika mereka tidak melihat hilal ramadlan, salah satu dari muslimin tidak melihat karena terhalang untuk melihat hilal ramadlan, maka mereka pun menyempurnakan bilangan sya’ban menjadi 30 hari. Ini semua menjelaskan kepada kita bahwa hukum masuknya bulan ramadlan digantungkan kepada rukyatul hilal dengan melihat hilal ramadlan, bukan dengan cara hisab. Maka tidaklah boleh dan tidak dibenarkan berpuasa berdasarkan hisab, yaitu hisab ilmu falak. Tetapi puasa ramadlan kita lakukan berdasarkan rukyah melihat hilal ramadlan. Dan sejauh yang aku ketahui, di negeri ini pun ada yang bertanggung jawab mengurusi perkara ini, yaitu kementerian agama, dimana mereka kirim sekian tim untuk melihat hilal ramadlan. Dan Jika kementrian agama melewati mentri agama telah mengumumkan puasa, maka kewajiban kaum muslimin untuk mentaati dan mengikuti pemerintahnya. Dasar dari perkara ini adalah hadits yang disebutkan oleh imam As Sa’di rahimahullah dari perkataan rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam : Berpuasalah kalian ketika melihat hilal ramadlan dan berbukalah kalian ketika melihat hilal syawal. Namun jika hilal tertutup atau tidak jelas atas kalian, tentukanlah untuknya. (Hadits disepakati Bukhari Muslim). Pada lafadz yang lain disebutkan, tentukanlah untuknya 30 hari. Pada lafadz yang lain lagi disebutkan, sempurnakanlah jumlah sya’ban menjadi 30 hari. Hadits di riwayatkan oleh Imam Bukhari. Hal ini karena bulan Arab bilangannya adalah 29 hari atau 30 hari. Sebagaimana rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam telah kabarkan dengan isyarat tangan beliau, bulan itu begini, begini dan begini. Pada kali yang ketiga beliau lipat salah satu dari jari beliau, sehingga yang dimaksud bulan itu 29 hari atau begini, begini, dan begini, 3 kali, berarti bulan itu 30 hari. Itulah bulan Arabiy 29 atau 30 hari. Dan di sini ada permasalahan lain terkait perkara yang telah kita sebutkan yaitu tidak dibenarkan puasa di hari yang syak, hari yang meragukan yaitu sehari sebelum ramadlan di akhir sya’ban dilarang orang untuk berpuasa padanya. Kecuali bagi orang yang memang memiliki kebiasaan untuk berpuasa di hari itu, misalnya orang itu punya kebiasaan berpuasa di hari senin dan kamis, puasa sunnah dan kebetulan sehari sebelum ramadlan itu hari senin atau hari kamis, maka boleh baginya untuk puasa. Adapun puasa sehari sebelum ramadlan dengan dalih untuk berjaga-jaga atau lebih berhati-hati, seperti yang disebutkan oleh sebagian fuqaha, maka itu tidaklah benar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits abu hurairah, rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam sabdakan : jangan kalian mendahului ramadlan dengan puasa sehari ataupun dua hari , kecuali orang yang punya kebiasaan untuk puasa di hari itu, maka hendaklah dia melanjutkan puasanya (Hadits di sahih muslim). Demikian pula perkataan amar radliyallaahu 'anhu : barangsiapa yang puasa di hari yang diragukan padanya, maka dia telah bermaksiat kepada abul qasim yaitu rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam.Atsar ini disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq dan diriwayatkan oeh ulama ahlu sunnah dalam sunannya.
Kemudian beliau jelaskan, pelaksanaan puasa ramadlan bisa dengan dasar persaksian orang yang adil, sedangkan untuk bulan-buan lainnya tidak diterima persaksiannya kecuali dari dua orang yang adil. Penjelasan beliau ini, mengandung 2 permasalahan, yang pertama terkait masuknya bulan ramadlan, maka untuk itu cukup dengan melihatnya hilal ramadlan dilihat oleh seorang lelaki yang adil. jika seorang yang adil ini telah melihat hilal ramadlan, selama dia termasuk orang yang diterima persaksiannya, maka diumumkanlah puasa ramadlan. Berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Umar radliyallaahu 'anhuma: para sahabat berusaha untuk melihat hilal ramadlan, maka aku khabarkan kepada rasulullah bahwa aku sendiri telah melihatnya, maka beliaupun berpuasa dan beliau perintahkan segenap para sahabat yang lain untuk berpuasa pula. Perkara yang kedua masalah tentang bulan-bulan yang lainnya selain ramadlan seperti bulan syawal atau dengannya berarti telah selesai bulan ramadlan, maka dalam masalah ini yang diwajibkan adalah harus adanya persaksian dua orang yang adil yang diterima persaksiannya. permasalahan ini adalah permasalahan yang tidak ada perselisihan paraulama tentangnya, sebagaimana telah disebutkan oleh imam tirmidzi di dalam jami’nya.